ditulis by. Dwi Ari Noerharijanti,ST (NRP.5106201803)
Peran ICT di Dunia Pendidikan Non Formal
Inpres Nomor 6 tahun 2001 tentang Pengembangan Telematika (Teknologi, Telekomonikasi, Media, dan Informatika) atau ICT dan Deklarasi IGOS (Indonesia Go Open Source) yang telah ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2004 oleh lima menteri (Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Menteri Pendidikan Nasional) yang berarti ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengupayakan adanya advokasi telematika dalam masyarakat dan penguatan infrastruktur telematika di lingkungan pendidikan dengan menggunakan Open Source Software.
Adalah ruang yang sangat luas bagi penanggung jawab sekaligus pelaku pendidikan untuk melakukan pengembangan “bertanggung jawab”, sebagai upaya reformasi pendidikan membangun masyarakat berbasis pengetahuan. Disadari bersama bahwa output pendidikan juga akan menjadi outcome sosial yang kembali pada masyarakatnya, maka untuk menjembatani kesenjangan mutu pendidikan dan teknologi, harus dimulai dari satuan-satuan pendidikan yang secara strategis merupakan wahana percepatan pendayagunaan ICT dalam proses pembelajaran, sehingga pada gilirannya setiap output akan merupakan bagian dari digital nerve.
Apakah peran-peran tersebut juga menjadi isu-isu penting dikalangan jajaran penentu kebijakan PNF?
Implikasi kebijakan yang diambil, warna program-program, dan realita pelaksanaan di lapangan sudah seharusnya juga mendukung penghantaran guliran ICT. Penyelenggaraan program-program PNF diharapkan mampu menjembatani kesenjangan teknologi pada masyarakat yang menjadi sasaran program.
Pendidikan Non Formal (PNF) dengan karakter yang begitu beragam dan luas, baik dari karakteristik warga belajar, sistem dan proses pembelajarannya serta kebermaknaanya di tengah masyarakat, juga dituntut mengambil peran sebagai wahana percepatan pendayagunaan ICT yang tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik PNF. Pendayagunaan ICT dapat dimulai dari spektrum pendekatan teknologi dalam kehidupan warga belajar sampai memberikan peluang warga belajar untuk berperan sebagai entitas sistem ICT secara keseluruhan, bahkan setelah mereka kembali ke dalam komunitasnya. Spektrum itulah yang menjadi target dan ruang untuk mengantarkan pembelajaran sesuai dengan satuan-satuan pendidikan non formal.
Sampai saat ini payung kebijakan PNF mengacu pada kebijakan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi (menggunakan media komunikasi massa yang diarahkan untuk memecahkan masalah pendidikan dan pengembangan SDM). Mengacu pada kebijakan tersebut, salah satu program pengembangan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional adalah pengembangan sistem dan model pembelajaran. Namun untuk PNF, program tersebut baru sebatas pengembangan sistem dan model pembelajaran dengan siaran televisi.
Selain payung kebijakan, untuk meraih keberhasilan penerapan ICT, PNF harus melakukan pengembangan materi yang menyentuh esensi kebutuhan belajar sekaligus membawa muatan pendekatan ICT. Jadi tidaklah cukup sebatas operasional atau latihan penggunaan komputer. Dan pada tahap akhir, diarahkan pada persiapan pendidik, tenaga kependidikan dan penyediaan perangkat kerasnya..
Di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasa 4 ayat (1), dikemukakan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Hal ini mengandung implikasi bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan harus meniadakan diskriminasi atau kesenjangan akses untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang diakibatkan oleh faktor-faktor lainnya yang terkait dengan kemampuan sistem pendidikan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, yang mencakup antara lain tuntutan kuantitas, kualitas dan kualifikasi pendidik, serta dukungan sarana dan prasana pendidikan, termasuk teknologi pendukung proses pembelajaran tepat guna.
Bagaimana dengan kondisi sasaran program PNF yang dikesankan selalu marginal dan tertinggal, yang diperparah dengan ketertinggalannya dalam penggunaan teknologi?
Maka upaya menjembatani kesenjangan teknologi melalui penggunaan ICT sebagai teknologi pendukung proses pembelajaran nampak identik dengan upaya untuk menjembatani kesenjangan mutu pendidikan, jika penggunaan ICT dalam proses pembelajaran berdampak pada pemerataan pendidikan yang bermutu. Apapun kondisi dan realitanya, maka perlu dipikirkan bagaimana mendekatkan ICT dalam kehidupan mereka. Sehingga akan menguatkan pribadinya untuk berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru. Sehingga mampu melaksanakan dan menjalani aktifitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dan lebih percaya diri.
Stigma bahwa peserta didik pada PNF identik dengan “kekurangan” sudah seharusnya mulai dikikis. Stigma ini menghambat kelancaran transformasi pengetahuan dan ICT khususnya, karena itu sebelum melangkah ke arah pengurangan kesenjangan teknologi bagi mereka sudah muncul sebuah sikap skeptis melalui sebuah pertanyaan “Apakah mereka mampu?”. Mayoritas warga belajar PNF selalu dicap sebagai orang yang tidak mampu dalam hal ekonomi dan kecerdasan, ini hal wajar, karena seringkali warga belajar PNF diperoleh dari limpahan atau terbuang dari pendidikan formal. “Kekurangan” yang disandang peserta didik PNF tidak dapat diasosiasikan dengan keterbelakangan. Misalnya pada kelompok belajar paket C, kondisi warga belajarnya cukup variatif, mereka memiliki kemandirian belajar meskipun mereka memiliki keterbatasan dalam kesempatan (waktu). Sebagian dari warga belajarnya sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan.
Pembelajaran yang memanfaatkan ICT pada PNF, khususnya pada kejar paket C atau bahkan paket B akan mampu merangsang dan mengembangkan lebih jauh kemandirian seseorang dalam belajar. Belajar secara klasikal, tidak lagi menjadi andalan dalam pembelajaran. Keterbatasan waktu dan kesibukan dalam mencari uang, bukan lagi menjadi penghambat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Belajar secara kelompok atau mandiri dengan memanfaatkan ICT menjadi alternatif yang patut diperhatikan, dengan demikian warga belajar lebih bisa memilih waktu dan menempatkan kemandiriannya untuk meraih keberhasilan.
Pada akhirnya, program-program PNF yang berbasiskan ICT perlu didukung strategi yang sistematis dan terprogram untuk membangun ICT Literacy pada PNF, sehingga mampu menjembatani kesenjangan teknologi dan informasi.
No comments:
Post a Comment