Tuesday, June 19, 2007

KEGAGALAN PROJECT PENGEMBANGAN SOFTWARE (mk. RPL)

PERMASALAHAN
Para pakar software engineering (rekayasa perangkat lunak) sepakat bahwa requirements engineering adalah suatu pekerjaan yang sangat penting, terutama berdasarkan fakta bahwa kebanyakan kegagalan pengembangan software disebabkan karena adaya ketidakkonsistenan (inconsistent), ketidaklengkapan (incomplete), maupun ketidakbenaran (incorrect) dari requirements specification (spesifikasi kebutuhan). The Standish Group mencatat bahwa prosentase akumulatif kegagalan sebuah project pengembangan software sebagian besar disebabkan oleh masalah requirements dan spesifikasinya [Standish-94].

KASUS I
Didalam Pengembangan software SIM PNF nasional dan media belajar Pendidikan Non Formal yang dikembangkan BPPLSP Regional IV Surabaya, dari perkembangan yang ada menunjukkan bahwa tim pengembang mengalami kesulitan dalam hal:
1.Mendefinisikan kebutuhan (penterjemahan konten)
2.Penyelesaian software selalu melebihi / tidak sesuai jadwal dikarenakan keinginan Pj program lembaga berubah (faktor kebijakan, input dari konsultan lembaga)
3.Pada kesempatan review bersama antara tim pengembang dan Pj program lembaga, seringkali review dari pj program menjadikan masukan/editing yang diminta ternyata mengharuskan pengembang membongkar total.

HASIL EKSPLORASI KASUS I
Menurut IEEE Standard Glossary of Software Engineering Technology (IEEE Std 610.12-1990) [IEEE-610.12], requirement dapat diartikan :
1. Suatu kondisi atau kemampuan yang diperlukan oleh user untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan
2. Suatu kondisi atau kemampuan yang harus dipenuhi atau dimiliki oleh sistem atau komponen sistem untuk memenuhi kontrak, standard, spesifikasi atau dokumen formal lain
3. Gambaran yang terdokumentasi dari kondisi atau kemampuan yang disebut pada 1 dan 2

Secara umum jika kita pelajari ada perbedaan mendasar definisi formal dari terminologi yang berhubungan dengan orang-orang dalam requirements engineering [IEEE-610.12]:
• Customer: Orang atau orang-orang yang membayar produk dan biasanya (tidak selalu yang memutuskan requirements. Dalam konteks ini direkomendasikan bahwa customer dan supplier adalah anggota dari organisasi yang sama.
• Supplier: Orang atau orang-orang yang memproduksi produk untuk customer. Dalam konteks ini direkomendasikan bahwa customer dan supplier adalah anggota dari organisasi yang sama.
• User: Orang atau orang-orang yang mengoperasikan atau berinteraksi secara langsung dengan produk. User dan customer kadang bukanlah orang yang sama.

Menurut Pamela Zave [Zave-97], Requirements engineering adalah cabang dari software engineering yang mengurusi masalah yang berhubungan dengan tujuan (dunia nyata), fungsi, dan batasan-batasan pada sistem software. Termasuk hubungan faktor-faktor tersebut dalam menetapkan spesifikasi yang tepat dari suatu software, proses evolusinya baik berhubungan dengan masalah waktu maupun dengan software lain (dalam satu famili).

Dan pada Proses Requirements Engineering, hasil dari fase requirements engineering terdokumentasi dalam requirements specification. Requirements specification berisi kesepakatan bersama tentang permasalahan yang ingin dipecahkan antara pengembang dan customer (dalam hal ini Pj Program), dan merupakan titik start menuju proses berikutnya yaitu software design. Sistemisasi proses negosiasi pengembang dan customer dalam requirements engineering dibagi dalam 3 proses besar yaitu: elicitation, specification, validation and verification. Formula ini kemudian juga dikenal dengan nama The Three Dimensions of Requirements Engineering. Proses requirements engineering ini dilakukan secara iterasi dengan mengakomodasi adanya feedback dari customer (user).

Adapun Requirements Elicitation, merupakan proses mengumpulkan dan memahami requirements dari user. Kadang masalah yang muncul berakar dari gap masalah knowledge domain (perbedaan disiplin ilmu yang dimiliki). Pj Program lembaga (sebagai customer) adalah expert pada domain yang softwarenya ingin dikembangkan (domain specialist), dilain pihak sang pengembang (requirements analyst) adakalanya sama sekali buta terhadap knowledge domain tersebut, meskipun tentu memahami dengan benar bagaimana sebuah software harus dikembangkan. Gap knowledge domain tersebut yang diharapkan bisa diatasi dengan adanya interaksi terus menerus dan berulang (iterasi) antara pengembang dan customer. Proses interaksi tersebut kemudian dimodelkan menjadi beberapa teknik dan metodologi diantaranya adalah interviewing, brainstorming, prototyping, use case, dsb.

Setelah masalah berhasil dipahami, dilakukan Requirements Specificatio. Dimana pengembang mendeskripsikannya dalam bentuk spesifikasi dokumen. Spesifikasi ini berisi tentang fitur dan fungsi yang diinginkan oleh customer, dan sama sekali tidak membahas bagaimana metode pengembangannya. IEEE mengeluarkan standard untuk dokumen spesifikasi requirements yang terkenal dengan nama IEEE Recommended Practice for Software Requirements Specifications [IEEE-830]. Dokumen spesifikasi requirements bisa berisi functional requirements, performance requirements, external interface requirements, design constraints, maupun quality requirements.

Setelah spesifikasi requirements berhasil dibuat, perlu dilakukan dua usaha:
· Validation (validasi), yaitu proses untuk memastikan bahwa requirements yang benar sudah ditulis
· Verification (verifikasi), yaitu proses untuk memastikan bahwa requirements sudah ditulis dengan benar
Proses validasi dan verifikasi ini melibatkan customer (user) sebagai pihak yang menilai dan memberi feedback berhubungan dengan requirements.

Monday, June 11, 2007

Konvergensi Total Dengan Java

Ringkasan tulisan Frans Thamura (Pendiri Java User Group Indonesia)
Acara JavaONE 2007 yang berlangsung di Moscone Center, San Francisco, AS, memberikan agenda baru bagi siapa saja yang bergelut di dunia Java. Java merupakan simbol yang dibawa oleh Sun Microsystems sebagai sebuah platform untuk berkolaborasi menghasilkan sesuatu, di mana kepercayaan untuk mengubah dunia dengan inovasi sangat kencang. JavaFX menjadi teknologi baru dalam keluarga Java, yang mengutamakan interaktivitas, di antaranya dengan demo menggunakan telepon bergerak dengan sistem operasi Java, yaitu Savaje (yang baru diakuisisi Sun) serta Nokia N800. Hari pertama JavaONE 2007 sarat dengan unsur promosi pihak Sun Microsystems serta rekan-rekan Java mereka, membuat adopsi Java semakin kuat terutama di area embeded. Integrasi SmartCard dengan dotcom menandakan masuknya perangkat bergerak menjadi dotcom, artinya setiap manusia yang memegang perangkat bergerak adalah sebuah situs web. Integrasi perfilman dengan internet dan game di dalam Blu Ray memungkinkan sebuah paradigma baru dalam menonton film. Bluray dengan BluRau Java SDK-nya memungkinkan adanya content internet di dalam film serta melakukan interaksi dan multiplayer quiz. Stack Enterprise yang meninggalkan kesan integrasi yang banyak. Hal ini karena solusi enterprise telah menjadi backbone dari semua ini, yang berubahnya dari integrasi aplikasi menjadi integrasi komponen. Berubah menjadi sebuah solusi Live, yang mengintegrasikan semua sisi kehidupan manusia sehingga semua manusia di muka Bumi ini terhubung secara virtual dapat berinteraksi. Java, yang 12 tahun lalu diciptakan agar menjadi sebuah aplikasi untuk televisi, akhirnya mendapatkan momentumnya di JavaONE 2007, yang menyatakan bahwa teknologi Java yang diciptakan oleh tim James Gosling tidak berubah. Televisi yang kompatibel dengan JavaTV ini telah membuat perusahaan kabel, perhotelan, dan ruang keluarga berubah, dari yang semula hanya sebuah perangkat menonton menjadi sebuah media interaksi yang memungkinkan menggabungkan semua acara dalam saluran televisi, internet, dan permainan. Ini adalah sebuah panggung hiburan modern yang sama sekali baru. Ricoh berhasil membuat mesin fotokopinya berkolaborasi dengan perangkat bergerak, berubah menjadi virtual library yang dapat diakses, bukan hanya oleh PC dalam jaringan, tetapi oleh perangkat bergerak. Teknologi robot lainnya yang tidak kalah menarik adalah helikopter yang dikendalikan secara remote, dapat memetakan 3D, serta teknologi 3D Open Source dari Sun, yaitu Wonderland (versi Java dari game SecondLife), dan Darkstar (game server Open Source).
Arie punya rembug :
Progres yang demikian cepat dan pesat, sangatlah membuka kesempatan sekaligus peluang mengembangkan keahlian atau juga sangat potensial diambil sebagai lahan profesi baru. Disi lain penyiapan akan masyarakat akan pemanfaatan dan pengaruh teknologi juga harus segera dicari terobosan solusinya. Peran sistem juga perlu menjadi penyaring yang handal disamping control sosial masyarakat

Mencari dan Mengembangkan Konten Teknologi

Ringkasan tulisan Ir. Heru Sutadi, M.Si ( Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia)
Adanya Pergerakan Teknologi Komunikasi dan Informasi (TKI) narrow band (pita sempit) ke arah broad band (pita lebar), dan perkembangan 3G yang semakin marak, serta akan hadirnya teknologi 4G.
Maka belajar dari pengalaman negara yang terlebih dahulu mengimplementasikan peta lebar, diketahui bahwa konten mempunyai peran yang strategis. Tanpa konten yang menarik, menghibur, dan mendidik, maka sebuah infrastruktur yang dapat diibaratkan seperti tol berlajur banyak yang hanya dilalui oleh sebuah motor bebek (mubadir). Maka tidak hanya berdebat tentang adopsi teknologi 3G, WIMAX, NGN 46, jaringan public/private. Tetapi perlu gugatan konten, apakah yang akan diberikan kepada masyarakat agar masyarakat Indonesia menjadi cerdas yang tidak hanya menjadi korban hempaan teknologi. Serta masyarakat yang sejahtera sebagai ending.
Kondisi di Indonesia yang mengalami Pasang surut konten, disatu sisi saat ini instansi pusat sampai di daerah telah bisa diakses internet, yang artinya mengalami perkembangan dari kemampuan digital dan infrastrukturnya. Perkembangan konten TKI sendiri memiliki kondisi stak, lebih banyak meniru, seperti dalam konten televisi yang perputar pada konten mistik, gossip.
Pada akhirnya dapat menjadi killer application. Penguasaan asing dibeberapa operator, industri konten, sehingga dalam pasar persaingan lebih banyak dimenangkan oleh pihak yang memiliki dominasi lebih. Meski dilihat dari kualitas konten tidak dapat memberikan pencerahan terhadap pendidikan masyarakat. Apakah orang Indonesia tidak ada yang yang pintar membentuk konten yang bagus ?
Hambatan lain adalah kondisi masyarakat kita yang terbiasa dengan “biasa gratis” (Fakta bahwa TV sebagai tamu yang tidak diundang selalu hadir )sehingga kulitas konten yang ditawarkan juga akan diukur dengan kebiasaanya

Ariee punya rembug:
Peluang pasar dapat mengantarkan kita menangkap lahan yang sangat potensial untuk dikembangan dan ditekuni sebagai profesi ataupun sekedar hoby yang dapat memberikan hasil koin dan poin bagi individu, dan berpartisipasi dalam memberikan pencerahan di tengah masyarakat khususnya dalam kontribusi memajukan masyarakat.

Memperluas Kapasitas Penyimpanan Digital

Ringkasan tulisan Rene L Pattiradjawane (Kompas, Senin 4 Juni 200)
Dikatakan bahwa kemajuan Teknologi Komunikasi dan Informasi memang memiliki ciri yang tidak terbantahkan, semakin cepat kemampuan computer dan jaringan maka semakin banyak data yang ingin diserap. Premis ini berlaku dimana-mana dan pada suatu titik tertentu menimbulkan persoalan lain yang merupakan warisan yang tidak bisa dihindari akibat kemajuan tersebut maupun sebagai cermin prilaku kita sendiri menghadapi perkembangan pesat yang dinamis.
Masalah terjadi ketika semakin banyak data yang dikumpulkan para pengguna computer dan jaringan internet. Diawali dengan media penyimpanan berbentuk disket, yang hanya memiliki kapasitas penyimpanan berukuran kecil sehingga terjadi penumpukkan disket oleh pengguna. Kemudian dengan munculnya CD, flopy disk drive mulai menghilang. Tidak berlangsung lama, muncul DVD. Perkembangan media tersebut tidak lepas dari perkembangan hardisk, dari beberapa megabyte menjadi gigabyte. Tetapi dibutuhkannya media penyimpan lain dikarenakan ketidakpercayaan akibat banyak insiden data hilang karena Crash, corrupted file, atau virus.

Hitachi global storage perusahaan yang memproduksi Hardisk 1 terabyte. Harddisk ini tidak hanya berkemampuan menyimpan data saja tapi juga memiliki cache memory 32MB, yang memungkinkan penulisan dan pembacaan data lebih cepat, serta mengimplementasi Perpendicular Magnetic Recording (PMR) untuk memperbesar kapasitas.
Deskstar 7K1000 dengan kapasitas 1 juta MB setara dengan 13 buah HD kapasitas 80GB, atau setara dengan 330 ribu foto digital revolusi tinggi (3MB per foto).

Percepatan ini menandakan akan semakin cepat kita melihat kehadiran kapasitas penyimpanan ukuran terabyte, gambaran ini pernah terjadi ketika Seagate memproduksi HD 1GB pada tahun 90an. Hal ini juga seharusnya dibaca sebagai peluang untuk semakin bereksplore melihat perkembangan e-learning dan e-magazine.

Ariee punya rembug:
Bahwa komponen perkembangan memiliki aspek yang saling terkait antara individu dengan kemampuan dan kemauannya, dukungan dan partisipasi masyarakat yang mengapresiasi perkembangan dan kemajuan, serta dukungan sistem yang menjaga regulasi perkembangan berjalan menuju kebaikan bersama. Perkembangan ini akan menjadi peluang yang sangat hebat di seluruh lini jika peluang ini diserap oleh varian factor, baik untuk ekonomi, pendidikan, social, dan kepemerintahan.

Monday, June 4, 2007

Pendayagunaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Untuk Pengembangan Pendidikan Non Formal

ditulis by. Dwi Ari Noerharijanti,ST (NRP.5106201803)

Peran ICT di Dunia Pendidikan Non Formal
Inpres Nomor 6 tahun 2001 tentang Pengembangan Telematika (Teknologi, Telekomonikasi, Media, dan Informatika) atau ICT dan Deklarasi IGOS (Indonesia Go Open Source) yang telah ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2004 oleh lima menteri (Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara, Menteri Kehakiman dan HAM, dan Menteri Pendidikan Nasional) yang berarti ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengupayakan adanya advokasi telematika dalam masyarakat dan penguatan infrastruktur telematika di lingkungan pendidikan dengan menggunakan Open Source Software.
Adalah ruang yang sangat luas bagi penanggung jawab sekaligus pelaku pendidikan untuk melakukan pengembangan “bertanggung jawab”, sebagai upaya reformasi pendidikan membangun masyarakat berbasis pengetahuan. Disadari bersama bahwa output pendidikan juga akan menjadi outcome sosial yang kembali pada masyarakatnya, maka untuk menjembatani kesenjangan mutu pendidikan dan teknologi, harus dimulai dari satuan-satuan pendidikan yang secara strategis merupakan wahana percepatan pendayagunaan ICT dalam proses pembelajaran, sehingga pada gilirannya setiap output akan merupakan bagian dari digital nerve.

Apakah peran-peran tersebut juga menjadi isu-isu penting dikalangan jajaran penentu kebijakan PNF?
Implikasi kebijakan yang diambil, warna program-program, dan realita pelaksanaan di lapangan sudah seharusnya juga mendukung penghantaran guliran ICT. Penyelenggaraan program-program PNF diharapkan mampu menjembatani kesenjangan teknologi pada masyarakat yang menjadi sasaran program.

Pendidikan Non Formal (PNF) dengan karakter yang begitu beragam dan luas, baik dari karakteristik warga belajar, sistem dan proses pembelajarannya serta kebermaknaanya di tengah masyarakat, juga dituntut mengambil peran sebagai wahana percepatan pendayagunaan ICT yang tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik PNF. Pendayagunaan ICT dapat dimulai dari spektrum pendekatan teknologi dalam kehidupan warga belajar sampai memberikan peluang warga belajar untuk berperan sebagai entitas sistem ICT secara keseluruhan, bahkan setelah mereka kembali ke dalam komunitasnya. Spektrum itulah yang menjadi target dan ruang untuk mengantarkan pembelajaran sesuai dengan satuan-satuan pendidikan non formal.
Sampai saat ini payung kebijakan PNF mengacu pada kebijakan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi (menggunakan media komunikasi massa yang diarahkan untuk memecahkan masalah pendidikan dan pengembangan SDM). Mengacu pada kebijakan tersebut, salah satu program pengembangan pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional adalah pengembangan sistem dan model pembelajaran. Namun untuk PNF, program tersebut baru sebatas pengembangan sistem dan model pembelajaran dengan siaran televisi.
Selain payung kebijakan, untuk meraih keberhasilan penerapan ICT, PNF harus melakukan pengembangan materi yang menyentuh esensi kebutuhan belajar sekaligus membawa muatan pendekatan ICT. Jadi tidaklah cukup sebatas operasional atau latihan penggunaan komputer. Dan pada tahap akhir, diarahkan pada persiapan pendidik, tenaga kependidikan dan penyediaan perangkat kerasnya..
Di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Pasa 4 ayat (1), dikemukakan bahwa salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”.
Hal ini mengandung implikasi bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan harus meniadakan diskriminasi atau kesenjangan akses untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, baik yang diakibatkan oleh faktor-faktor lainnya yang terkait dengan kemampuan sistem pendidikan dalam penyelenggaraan proses pembelajaran, yang mencakup antara lain tuntutan kuantitas, kualitas dan kualifikasi pendidik, serta dukungan sarana dan prasana pendidikan, termasuk teknologi pendukung proses pembelajaran tepat guna.

Bagaimana dengan kondisi sasaran program PNF yang dikesankan selalu marginal dan tertinggal, yang diperparah dengan ketertinggalannya dalam penggunaan teknologi?

Maka upaya menjembatani kesenjangan teknologi melalui penggunaan ICT sebagai teknologi pendukung proses pembelajaran nampak identik dengan upaya untuk menjembatani kesenjangan mutu pendidikan, jika penggunaan ICT dalam proses pembelajaran berdampak pada pemerataan pendidikan yang bermutu. Apapun kondisi dan realitanya, maka perlu dipikirkan bagaimana mendekatkan ICT dalam kehidupan mereka. Sehingga akan menguatkan pribadinya untuk berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru. Sehingga mampu melaksanakan dan menjalani aktifitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dan lebih percaya diri.

Stigma bahwa peserta didik pada PNF identik dengan “kekurangan” sudah seharusnya mulai dikikis. Stigma ini menghambat kelancaran transformasi pengetahuan dan ICT khususnya, karena itu sebelum melangkah ke arah pengurangan kesenjangan teknologi bagi mereka sudah muncul sebuah sikap skeptis melalui sebuah pertanyaan “Apakah mereka mampu?”. Mayoritas warga belajar PNF selalu dicap sebagai orang yang tidak mampu dalam hal ekonomi dan kecerdasan, ini hal wajar, karena seringkali warga belajar PNF diperoleh dari limpahan atau terbuang dari pendidikan formal. “Kekurangan” yang disandang peserta didik PNF tidak dapat diasosiasikan dengan keterbelakangan. Misalnya pada kelompok belajar paket C, kondisi warga belajarnya cukup variatif, mereka memiliki kemandirian belajar meskipun mereka memiliki keterbatasan dalam kesempatan (waktu). Sebagian dari warga belajarnya sudah memiliki pekerjaan dan penghasilan.

Pembelajaran yang memanfaatkan ICT pada PNF, khususnya pada kejar paket C atau bahkan paket B akan mampu merangsang dan mengembangkan lebih jauh kemandirian seseorang dalam belajar. Belajar secara klasikal, tidak lagi menjadi andalan dalam pembelajaran. Keterbatasan waktu dan kesibukan dalam mencari uang, bukan lagi menjadi penghambat seseorang untuk memperoleh pendidikan. Belajar secara kelompok atau mandiri dengan memanfaatkan ICT menjadi alternatif yang patut diperhatikan, dengan demikian warga belajar lebih bisa memilih waktu dan menempatkan kemandiriannya untuk meraih keberhasilan.

Pada akhirnya, program-program PNF yang berbasiskan ICT perlu didukung strategi yang sistematis dan terprogram untuk membangun ICT Literacy pada PNF, sehingga mampu menjembatani kesenjangan teknologi dan informasi.